Tentang buku ini, adalah kisah kawan sendiri. Barlius, lulusan jurusan Sejarah IKIP Padang, Yunior kami di jurusan yang sama. Yang paling senior Muhammad Khudri, kemudian Khairul Jasmi, dua orang yang kemudian menggarap buku ini. Karena kawan, maka enteng saja dia minta agar dituliskan buku biografinya. Namun, karena dia bisa menulis, maka diperintah balik. “Tulis sendiri, apa yang teringat, berurutan, nanti kami edit atau permak,” kata Khairul Jasmi.
Jadi tak berat benar kerja penulis atau bahkan bukan penulis melainkan editor. Yang mana pun, tak soal benar. Yang jadi soal: mencari judul buku. Dalam dunia jurnalistik, ada dua hal yang paling sulit, pertama memberi judul berita, kedua memberi kredit atau teks foto. Untuk buku, sama.
Tapi, sesulit apapun, bisa. Maka, selesailah penulisan buku biografi kawan kami ini. Tentang bagaimana isinya, enak dibaca atau tidak, cobalah dulu balik-balik. Mudah-mudahan enak.Yang menjadi catatan kami berdua, Barlius adalah anak miskin, yatim. Segala tak punya. Bisa bayangkan ini: semasa kuliah sering menumpang ketimbang kos sendiri. Saat pergi menikah, hanya ada sepatu bekas pemberian kawan. Bagian dalamnya sudah rusak, dialas dengan sandal jepit yang digunting sedemikian rupa. Waktu kecil, maka tak bergizi, abak toke baro, lalu meninggal. Tinggal ibunda sendirian membesarkan Barlius.
Kami memujikan langkah Barlius, sudah semestinya pejabat di Sumatera Barat membuat catatan dan biografi sebagai warisan untuk keluarga dan orang banyak. Ini, kebiasaan yang ditemui di zaman Belanda. Belakangan lenyap. Biografi atau catatan pejabat dalam bentuk buku, bukan membanggakan diri, melainkan warisan. Buku bisa dibaca, pengalaman tidak. Pengalaman itulah yang dijadikan buku, akhirnya bisa dibaca orang banyak.
Demikian, terima kasih atas atensi Anda bagi buku ini. Selamat membaca





Reviews
There are no reviews yet.